Photo tersebut di atas diperoleh dari websitenya airlinersnet, POLRI menggunakan pesawat ini sebagai pesawat anggkut transport VIP. seperti yang ditulis website berikut :Raytheon Hawker 400XP P-2034 (cn RK-362) Indonesian Police uses this Hawker 400XP for VIP transpor (http://www.airliners.net/photo/Indonesia---Police/Raytheon-Hawker-400XP/1310981/&sid=e2c791c369179b502cab7e191f2930ee)
Peninggalanya belum ada yang dapat dilihat karena masih aktif operasional.
Modelkitnya belum ditemukan pabrikan yang membuat, namun jika ingin membuat dengan memodivikasi dari pesawat sejenisnya yang paling mirip adalah dengan mokit merk Broplan skala 1/72 dari type pesawat Cessna 550 atau Gulfstream G-IV seperti gambar di atas. Jika kitnya diperoleh nanti akan diberi marking dan decal Polri sesuai photo di atas.
Pilotage Skill Test - NO modern Navigation tools -
Stearman - cross country Flying to AirShow
Stearman First Flight
Boeing Stearman P-17 Kaydet
Pesawat ini sebetulnya tidak digunakan langsung operasional AURI di Indonesia, tetapi pesawat ini adalah yang digunakan para calon penerbang yang menempuh pendidikan di Amerika Serikat yaitu saat diadakannya Sekolah Penerbangan AURI Angakatan III di Amerika Serikat tahun 1950-1952. Sekolah perwira penerbang angkatan ke III diselenggarakan di luar negeri dan diikuti olleh 60 orang siswa penerbang. Pendidddikan diadakan pada tahun 1950 sampai dengan 1952 di TALOA Academy of Aeoronautics yang bertempat di Minterfield, California, Amerika Serikat. Pengiriman siswa penerbang ke luar negeri tersebut adalah yang kedua kalinya di laakukan oleh AURI, yang pertama ialah ke India pada tahun 1947. Pada saat itu para siswa sudah berada pada tahap dasar ( “ Basic phase” ) pada tahap mana pesawat terbang yang di gunakan adalah pesawat terbang P-17 sumber : (http://barudakcbr.blogspot.com/2009/01/makalah-tentang-sejarah-museum-pusat_25.html)
cerita lain dari ; http://angkasa.grid.id/sejarah/taloa-nama-untuk-sebuah-legenda-penerbang-tni-au/
Sebuah kenangan
indah bagi 60 pemuda Indonesia yang mengikuti pendidikan penerbangan di
Kalifornia pada tahun 1950. Kenangan itu dibukukan oleh anak-cucu mereka dalam
sebuah buku foto “Kepak Sayap The 60 Taloans Sebuah Kilas Balik” setebal 128
halaman. Jika dirunut ke belakang, kisah ini tidak akan pernah terjadi jika
Kementerian Pertahanan RI tidak mengeluarkan pengumuman bertanggal 25 Juli
1950. Isinya adalah, dibukanya pendaftaran bagi pemuda Indonesia untuk menjadi
penerbang. Responnya luar biasa. Ratusan pemuda mendatangi Markas Besar
Angkatan Udara di Jalan Merdeka Barat No. 8, dari berbagai wilayah di tanah
air. Hasil seleksi menyatakan bahwa hanya 60 orang yang diterima sebagai kadet
(calon penerbang). Pengumuman kelulusan disampaikan lewat surat dan RRI. Meski
umumnya dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, tapi ada juga yang bela-belain
datang dari Manado yaitu John Nayoan. Ada juga yang bekas Tentara Pelajar,
lulus SMA (Leo Wattimena), mahasiswa (Sugandi di IPB dan Hapid Prawira
Adiningrat di ITB), bekerja (Saleh Basarah di Lanud Andir dan Omar Dani di Bank
Indonesia), bahkan sudah menjadi anggota AURI (Makki Perdanakusuma dan Andoko).
Tentu setelah melalui proses administrasi berikutnya, mereka kemudian dilepas
KSAU Komodor Surjadi Suryadarma di Bandara Kemayoran untuk diterbangkan ke
Bakersfield, Kalifornia pada 16 November 1950. Di wilayah Bakersfield inilah
terdapat lapangan terbang Minterfield, tempat Transocean Airlines Oakland
(TALOA) Academy of Aeronautics berada. Mereka berangkat dengan pesawat khusus
DC-4 “Mount Fairwather” milik Transocean Airlines (TAL), semacam holding
bagi usaha kedirgantaraan yang dibangun Orvis Nelson pada 1946. Dipilihnya
TALOA sebagai tempat berlatih penerbangan adalah atas saran Komodor Wiweko
Soepono, yang merasa Amerika adalah tempat terbaik untuk belajar. Wiweko
sendiri yang mengunjungi Minterfield untuk melihat langsung sekolah ini. Saat
itu Wiweko bertemu dengan salah seorang pejabat TALOA, Leenhuizen, yang fasih
berbahasa Belanda. Pertemuan itulah yang dijadikan dasar dibuatnya kontrak pendidikan
untuk 60 pemuda Indonesia, generasi baru airman AURI. Semasa Perang
Dunia II, Minterfield dipakai sebagai tempat latihan pilot tempur untuk dikirim
ke wilayah Pasifik. Hampir seluruh areanya dibangun untuk menunjang pendidikan
penerbang. Permukaannya diperkeras dengan kontruksi beton. Kurang lebih 20
persen dipakai untuk parking ramps yang mampu menampung ratusan
pesawat BT-13. Sisanya merupakan area landasan. Pada saat kedatangan para kadet
ini, Minterfield yang memiliki tiga runway masih difungsikan sebagai
pangkalan udara, meski operasionalnya lebih banyak untuk mendukung penerbang crop
dusters (penyemprotan hama), pesawat pribadi dan hobbiest. Di
sekitar pangkalan kebetulan banyak dihuni warga imigran dari Meksiko dan
Filipina, yang langsung menjadi pertimbangan utama Wiweko untuk menentukan
pilihannya. Saat itu TALOA hanya membutuhkan waktu satu tahun untuk mencetak
penerbang. Sementara jika mengikuti pola pendidikan penerbang militer yang
lazim, calon penerbang dan calon navigator harus menjalani pendidikan hampir
tiga tahun di akademi militer. Hal itu dialami perwira ALRI yang dididik di
Akademi Militer Den Helder, Belanda. Cepatnya masa pendidikan di TALOA
dikarenakan kepada kadet hanya diberikan materi seputar penerbangan. Nah,
pendidikan militer nanti akan mereka terima sepulangnya ke tanah air. Skenario
ini sangat tepat untuk menghindari kelumpuhan total AURI, menyusul banyaknya
penerbang mengundurkan diri terkait konflik internal yang terjadi di tubuh
AURI.
Long
John
Sebelum
diterbangkan ke Kalifornia, ke-60 pemuda ini ditampung di sebuah asrama di
kawasan Cililitan (sepertinya di mess AURI). Mereka dikelompokkan ke dalam enam
grup berdasarkan tinggi badan, dengan setiap grup beranggotakan 10 orang dengan
satu orang sebagai group leader. Sebagai leader dari kesemua
pemuda ini, KSAU Surjadarma secara langsung menunjuk Makki Perdanakusuma. Mudah
ditebak, karena Makki sudah menjadi perwira AURI ketika terpilih sebagai kadet.
Kepada setiap kadet diberikan sejumlah perlengkapan. Terdiri dari pakaian
seragam dari bahan drill katun warna khaki, satu stel jas pesiar dari wol warna
abu-abu yang mereka sebut jas kebo, dan pakaian dalam long john putih
yang sering mereka sebut baju Anoman. Dengan semua bekal yang diberikan, mereka
pun berangkat menyongsong kehidupan baru di dunia baru yang nyaris tidak mereka
kenal sama sekali. Penerbangan yang melelahkan mereka lalui selama 58 jam.
Empat mesin radial Pratt & Whitney R-2000 hanya mampu memberikan kecepatan
maksimum sekitar 300 km/ jam, sehingga penerbangan DC-4 menjadi begitu lama. Dari
Kemayoran, pesawat mendarat di Labuan (Malaysia), Manila, Guam, Honolulu hingga
akhirnya tiba di bandara Oakland, San Fransisco di wilayah pantai barat. Peristiwa
lucu terjadi di Honolulu, yang membuat mereka terpaksa dikarantina. Bermula
dari ditemukannya bercak-bercak merah-hitam di tubuh salah seorang kadet oleh
petugas imigrasi bandara. Menduga itu sebagai sebuah penyakit, si kadet yang
malang berikut seluruh temannya dikarantina di kawasan bandara sampai ada
klarifikasi dari petugas kesehatan bahwa mereka “aman”. Rupanya saat itu orang
Amerika belum mengenal yang namanya pengobatan tradisional kerokan, yang
dianggap manjur mengobati orang yang masuk angin. Saat DC-4 mendarat di San
Fransisco, mereka disambut staf Departemen Luar Negeri RI, warga Indonesia
setempat dan William Rea (akrab dipanggil Bill) dan istrinya Lilian Rea. Pasangan
ini adalah calon orang tua asuh mereka, yang kelak meninggalkan kenangan
teramat mendalam hingga saat ini, sampai usia Lilian sekarang sudah mencapai 94
tahun. Keduanya langsung menemani para kadet dalam penerbangan leg terakhir
dari Oakland ke Bakersfield. Oh ya, tak lupa saat di San Fransisco, petinggi
TALOA sebagai tuan rumah yang baik menyuguhkan makan malam yang sangat lezat. Itulah
kali pertama sejak meninggalkan Jakarta, ke-60 kadet ini merasakan makanan
nikmat yang mengenyangkan. Hari ketiga perjalanan, menjelang malam, mereka
akhirnya tiba di Bakersfield.
Warga di sekitar
Minterfield sangat antusias menyambut pendatang dari seberang lautan ini. Wajah
mereka terlihat gembira dan melambai-lambaikan tangan ke arah kadet di dalam
bus.
Beberapa anak
muda melambaikan tangan sambil mengacungkan jari tengahnya (fuck),
yang dibalas para kadet juga dengan mengacungkan jari tengahnya. Baru kemudian
setelah agak lama di Minterfield, mereka mengerti maksud mengacungkan jari
tengah tersebut. Hari-hari setelah itu, mereka sudah langsung dihadapkan kepada
materi pendidikan penerbangan yang dimulai dengan ground school. Enam
grup yang dibentuk di Jakarta, kali ini dilebur menjadi hanya dua kelompok
(skadron) yang masing-masing beranggotakan 30 orang. Skadron 1 dihitung kacang
dari Grup 1, 2, dan 3. Selanjutnya menjadi Skadron 2. Di awal perkenalan dengan
direktur flying school James Hennessy dan para instruktur, agak
menggelikan ketika para instruktur kesulitan mengejakan nama para siswanya.Sejak itulah bermunculan nicknames dari
“the sixty boys” yang terus terbawa hingga mereka mengabdi sebagai perwira TNI
AU. Makki dipanggil Mackey, Leonardus Willem Johanes Wattimena dipanggil Leo,
dan Saleh Basarah dipanggil Lex. Meski tidak menggunakan gaya militer, tetap
saja pendidikan harus dijalani dalam jadwal yang ketat. Pukul 5 pagi di tengah
dinginnya suhu, mereka sudah harus bangun dan berbaris menuju mess hall.
Setelah itu makan pagi dilanjutkan pelajaran kelas. Namun semua dihadapi dengan
semangat tinggi sampai akhirnya mereka memasuki tahap primary
menggunakan pesawat single engine Aeronca.
Di bagian luar
hangar, setiap saat dikibarkan bendera Merah Putih bersanding dengan Stars and
Stripes. Di depannya terdapat apron dengan 20 pesawat Aeronca berbalut warna
perak berderet rapih.Pesawat ini digunakan secara bergiliran oleh Skadron 1 dan
2. Jika Skadron 1 belajar terbang, maka Skadron 2 ground school. Begitu
sebaliknya. Pelajaran teori dan praktik berlangsung bergiliran sehingga waktu
yang ada dimanfaatkan secara efektif.Pelajaran diberikan berdasarkan manual
yang diterbitkan CAA (Civil Aeronautics Administration), sekaligus sebagai
acuan untuk mengikuti ujian tertulis guna mendapatkan pilot license.Sedangkan
latihan terbang dijadwalkan mulai dari tingkat mula (primary), dasar (basic),
dan lanjut (advanced). Pendidikan tingkat advanced berarti
sampai ke level pendidikan instruktur penerbang.Di akhir tingkat mula setelah
memperoleh 40 jam terbang, setiap mereka mendapat kesempatan terbang solo
cross country sejauh 180 mil, sebuah jarak yang tidak dekat bagi kadet
tingkat mula dengan pesawat single engine di atas wilayah yang asing
bagi mereka. Wiweko memang cerdas.Ia sengaja memilih Minterfield karena wilayah
ini tidak pernah terpengaruh oleh faktor cuaca. Lokasinya terletak di kawasan
yang terkenal sebagai the country of sunshine, sebuah tempat yang
tidak pernah tertutup salju.Namun begitu, para kadet tetap harus menyesuaikan
diri dalam udara dingin, khususnya saat mulai terbang dengan pesawat Aeronca
yang memiliki model kokpit terbuka sebelah. Agak terbantu setelah mereka
mendapat jatah jaket kulit hitam dengan badge Swa Bhuana Paksa di dada kiri dan
tulisan Indonesian Flight Student di bawahnya, dan dengan mengumpulkan uang
saku bisa membeli kacamata Ray Ban.Tahap basic dilanjutkan dengan
pesawat latih Boeing Stearman. Setiap kadet harus mencapai 80 jam, dan
bagi yang lolos dilanjutkan menggunakan pesawat Harvard dengan waktu
90 jam terbang.Akhirnya mereka naik ke pesawat yang lebih besar, yaitu
mengumpulkan akumulasi 45 jam di pesawat Beechcraft dan C-47 Dakota.Hingga
akhirnya mereka lulus setahun kemudian, semuanya memperoleh sertifikat dan wing
TALOA. Sebagian besar lulus sebagai penerbang dan ada juga sebagai navigator, link
trainer instructor, dan aerial photographer.Pada Desember 1951,
mereka kembali ke tanah air secara bertahap menggunakan berbagai maskapai
penerbangan. Sebanyak 20 orang tetap di Minterfield untuk melanjutkan
pendidikan flight instructor hingga enam bulan ke depannya.
Kompak
selalu
Sungguh masa
setahun di Kalifornia meninggalkan kesan mendalam bagi ke-60 kadet AURI
generasi TALOA. Dari semula ada perasaan takut, khawatir, cemas, akhirnya sirna
setelah hari demi hari mereka menjalani aktivitas di Minterfield.Kebersamaan
dalam suka dan duka, terkenang selalu kejenakaan Roesdi yang piawai memainkan
piano dan biola, atau Omar Dani dan Kardjono yang piawai mencukur rambut. Salah
satu kenangan yang sangat berkesan dan mengharukan adalah saat mereka diundang
menghadiri Veteran’s Day. Pada waktu lagu kebangsaan Amerika akan dinyanyikan,
ternyata tidak seorangpun di antara yang hadir bisa mengiringinya dengan piano.Panitia
pun panik. Pembawa acara berusaha menanyakan kepada hadirin, apakah ada yang
bisa duduk di depan piano. Di situlah Roesdi hadir sebagai penyelamat. Dengan
tenang ia maju dan duduk di depan piano. Jari jemarinya bermanuver menekan tuts
demi tuts untuk membentuk sebuah nada The Star Spangled Banner. Luar biasa
Roesdi, sang kadet TALOA.Sekembalinya ke tanah air dan menjadi perwira AURI,
anak-anak TALOA berkiprah di berbagai kecabangan. Seiring konflik yang terjadi
di sejumlah wilayah di tanah air, mereka pun langsung mengisi pos terdepan, lead
the way, menyongsong setiap ancaman terhadap keutuhan NKRI. Menjelang
akhir pengabdian mereka di TNI AU, tiga di antara mereka menduduki posisi
puncak sebagai KSAU yaitu Omar Dani, Sri Mulyono Herlambang, dan Saleh Basarah.
Beberapa di antara mereka menjadi legenda seperti Leo Wattimena dan Ign.
Dewanto. Menurut Jeanny Sugandi yang memimpin tim penulis berjumlah tujuh orang
yang kesemuanya anak-anak alumni TALOA saat peluncuran buku “Kepak Sayap The 60
Taloans Sebuah Kilas Balik” di Warung Solo, Kemang, Jakarta Selatan (9 Agustus
2015), kiranya apa yang sudah dilakukan para orang tua mereka bisa dijadikan
teladan.“Ayah-ayah kami sudah melakukan yang terbaik, mereka adalah kebanggaan
bagi kami anak-anak dan cucu-cucunya,” ujar Jeanny saat memberikan sambutan. Meski
acara peluncuran terbilang sederhana karena tidak mengundang media selain Angkasa,
namun aura kebersamaan dan kekompakan yang diperlihatkan generasi kedua TALOA
yang menyiapkan acara ini, sungguh luar biasa.Mengutip ucapan salah seorang
purnawirawan TNI AU, bahwa yang namanya paguyuban purnawirawan adalah sebuah
organisasi yang sifatnya sementara. Karena satu demi satu anggotanya akan
habis, hingga pada akhirnya sudah tidak ada lagi yang bisa menjalankan
paguyuban.Namun paguyuban putra-putri TALOA menjadi antitesis, bahwa pandangan
itu tidak berlaku bagi mereka.Meski generasi ayah mereka tinggal dua orang
(Hapid Prawira Adiningrat dan Steve Kristedja), namun tidak terlihat
tanda-tanda berakhir pula keharmonisan mereka. Sebaliknya semakin kuat.Kehadiran
Hapid Prawira Adiningrat di tengah-tengah anak-cucu TALOA seperti menjadi
kebanggaan bagi semua (Steve Kristedja berhalangan karena tinggal di
Kalifornia).Marsekal (Pur) Chappy Hakim yang didaulat memberikan sambutan, tak
kurang memberikan hormat kepada seniornya, Hapid Prawira Adiningrat, penerbang
P-51 Mustang terakhir yang masih hidup di Indonesia.
Peninggalan pesawat ini satu-satunya masih dapat dilihat di Museum Dirgantara Mandala Yogyakarta dengan marking sesuai aslinya di Amerika sana. Trus gimana ceritanya sampai ada dimuseum ini ? Ada cerita di web http://www.maam.org/p61/p61_recovery.htm bahwa pesawat ini adalah barteran dari rongsok P-61 Black Widow di puncak gunung Cyclops Papua yang diinginkan Mid Atlantic Air Museum (MAAM)Pensylvania USA :
The Indonesian government had
finally agreed to accept a fully operational Boeing Stearman PT -13
primary trainer for display within their Air Force Museum in trade for
the needed export permits. But, first the Stearman had to be
disassembled, packed and shipped to Indonesia. Upon the arrival of the
Stearman in Indonesia the export paper work for the P-61 was finally in
hand and shipping arrangements were made with a US importer.
Hampir empat puluh tahun yang lalu pernah ada usaha untuk
membuat pesawat latih sendiri agar dapat memenuhi kebutuhan pilot sipil
dan militer di Indonesia. Pada awal 1970-an, Lipnur (Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio) hampir menyelesaikan produksi 44 unit Gelatik, pesawat yang merupakan tahapan alih teknologi berdasarkan lisensi dari PZL-104 Wilga dari Polandia. Direktur Lipnur saat itu Marsma Ir Sugito berpikir program apa selanjutnya setelah Gelatik untuk mengisi kegiatan unit produksi pesawat milik TNI AU ini. Sayangnya kondisi politis dan ekonomi pada waktu itu tidak memungkinkan membuat program seperti Gelatik,
mengingat untuk memroduksi pesawat lisensi, membutuhkan biaya sampai
puluhan juta dolar ditambah lagi ada batasan produksi. Mendesain pesawat
sendiri tentunya membutuhkan waktu lama dengan ada kemungkinan gagal. Karena itulah, PT Chandra Dirgantara pimpinan Marsma G.F. Mambu
menawarkan alternatif lain kepada Lipnur untuk memroduksi pesawat
Ladislao Pazmany PL-1 asal San Diego, California, AS. Karena mengunakan
teknologi sederhana dan swayasa, PL-1 bisa diproduksi secara mudah,
murah, dan tidak ada batasan produksi. Ternyata usulan ini diterima. “Saya mendapatkan informasi pesawat itu dari majalah Flying. Beli gambar dengan harga 200 dolar AS dan bayar royalti berupa main spar
produksi pabrik dengan harga 500 dolar. Ditambah lagi pesawat ini sudah
dipakai oleh AU Taiwan, diproduksi 60 unit oleh unit produksi AU
Taiwan. Jadi sudah proven,” kata Ir Suharto yang saat itu menjadi Staf Teknik PT Chandra Dirgantara saat diwawancarai penulis. “PT Chandra Dirgantara ada keterkaitan dengan Kopelapip (Komando
Pelaksana Proyek Industri Penerbangan) untuk memroduksi Fokker F27 yang
didirikan oleh wartawan bernama Kurwet Kartaadiredja. Rencananya Kopelapip dipimpin oleh Nurtanio juga yang saat itu memimpin
Lapip (Lembaga Persiapan Industri Penerbangan). Setelah tahun 1966,
nasib Kopelapip tidak jelas dan diambil alih oleh TNI AU dan menjadi PT
Chandra Dirgantara,” jelas alumni Technisch Hochschule Braunschweig,
Jerman Barat ini. Direncanakan dibuat empat unit protipe, dengan produksi awal sebanyak
enam unit, yang akan dijual kepada TNI AU (termasuk FASI/Federasi
Aerosport Seluruh Indonesia) dan LPPU (Lembaga Pendidikan Perhubungan
Udara) Curug. Pesawat yang diputuskan untuk dibuat adalah PL-2,
pengembangan dari PL-1, yang pada saat itu sedang dievaluasi sebagai
pesawat latih mula AU Vietnam Selatan, AU Korea Selatan, dan AU Jepang. PL-2 produksi Lipnur diberinama Lipnur Trainer (LT)-200 Skytrainer.
Angka 2 diambil dari angka 2 pada PL-2, sedangkan dua angka nol
disediakan untuk angka pengembangan pesawat selanjutnya. Pembagian
kerjasama disetujui bahwa PT Chandra Dirgantara sebagai penyedia dana,
penjualan, dan production support, sedangkan Lipnur menjadi pelaksana produksinya. Dari mana PT Chandra Dirgantara mendapatkan uang? Ternyata perusahaan
ini memiliki jatah bisnis kayu di Sumatra, bahkan uang yang dihasilkan
dari bisnis ini direncanakan akan dibuat sampai 16 unit pesawat. Uang
ini selain untuk membayar royalti, sebagian besar dipakai untuk membeli
mesin dan instrumen yang belum bisa diproduksi sendiri. Terbang perdana
LT200 adalah pesawat latih berkapasitas dua orang dengan tempat duduk berdampingan (side by side),
bermesin Lycoming O-320-E2A 150 hp, dengan kecepatan jelajah rata-rata
220 km/jam, dan berkemampuan akrobatik. Rentang sayap 8,53 m, tinggi 2,5
m, dan panjang 5,9 m. Jarak jelajah mencapai 610 km serta lama terbang
hampir tiga jam. Pesawat dengan bubble canopy dan fixed landing gear ini sekilas tampak mirip dengan AS-202 Bravo. Tapi perbedaannya adalah LT-200 memiliki tangki bahan bakar yang berada di ujung sayap (wing tip tank) Sumber : Angkasa
Cerita lain dari : Aviation history of indonesia
https://aviahistoria.com/2017/08/01/swadaya-pesawat-latih-yang-gagal-lt-200-skytrainer/
/?fbclid=IwAR2ayajlWeWt6tUfvHSO90uloYvD_HmfR5NxVqFZ-_4GtY7goFFXAtiK0yI
Pada awal
1970-an, pasca kegagalan produksi massal Nurtanio Nu-90 Belalang dan
berakhirnya produksi PZL-104 Wilga (Gelatik), LIPNUR membutuhkan proyek baru
untuk mengisi kegiatan unit produksi pesawat milik TNI-AU (Tentara Nasional
Indonesia-Angkatan Udara) ini.
Membuat pesawat
lisensi seperti Gelatik tidak mungkin karena biayanya besar ditambah ada
batasan produksi. Mendesain pesawat sendiri tentunya membutuhkan waktu lama
dengan ada kemungkinan gagal.
PT. Chandra
Dirgantara pimpinan Marsma (Marsekal Pertama) G.F. Mambu menawarkan produksi
pesawat latih berteknologi swayasa yang sesuai dengan filosofi dan semangat
Nurtanio, sang pendiri LIPNUR, teknologi sederhana, mudah dan murah diproduksi,
juga tidak ada batasan produksi.
Sebagai catatan
PT. Chandra Dirgantara ini memiliki keterkaitan era dengan KOPELAPIP (Komando Pelaksana Persiapan Industri Pesawat Tebang), mega
proyek untuk membuat Fokker F27 secara lisensi tapi gagal akibat perubahan
politik. Nasibnya yang tidak jelas ini lantas diambil alih TNI-AU.
Suharto sebagai
salah satu staf teknik PT. Chandra Dirgantara yang pertama kali mengusulkan
konsep pesawat swayasa yang dikembangkan menjadi pesawat latih mula. Alumni
Technisch Hochschule Braunschweig, Jerman Barat ini menyodorkan desain PL-1,
karya Ladislao Pazmany yang idenya didapat secara kebetulan dari membaca
majalah Flying bekas.
Karena sudah
terbukti kemampuannya, telah diproduksi dan digunakan oleh AU Taiwan sebanyak
60 unit, dan dalam tahap evaluasi oleh AU Korea Selatan, AU Taiwan, dan AU
Jepang, usul ini disetujui. Pembagian kerjasama disetujui bahwa PT. Chandra
Dirgantara sebagai penyedia dana, penjualan, dan dukungan produksi, sedangkan
LIPNUR menjadi pelaksana produksinya.
Direncanakan
dibuat empat unit protipe, dengan produksi awal sebanyak enam unit. Target
penjualan domestik awal adalah TNI-AU termasuk FASI (Federasi Aerosport
Indonesia) dan LPPU (Lembaga Pendidikan Perhubungan Udara). Untuk pembiayaannya
PT. Chandra Dirgantara mengandalkan jatah bisnis kayu di Sumatra.
Diputuskan pula
bahwa yang dibuat adalah PL-2, pengembangan dari PL-1, dan disebut LT (Lipnur
Trainer)-200 Skytrainer. Angka 2 diambil dari angka 2 pada PL-2, sedangkan dua
angka nol disediakan untuk angka pengembangan pesawat selanjutnya. Harga cetak
biru gambar sebesar US$ 200 ditambah bayar royalti berupa main spar
produksi Pazmany dengan harga US$ 500. Yang terakhir ini sebenarnya tidak
wajib, Suharto bahkan menyebut main spar itu terlalu kokoh. LT-200 adalah
pesawat berkapasitas dua orang dengan tempat duduk berdampingan (side by
side), bermesin tunggal Lycoming O-320-E2A 150 tk, dengan kecepatan
jelajah rata-rata 220 km/jam, dan berkemampuan akrobatik. Dengan rentang sayap
8,53 m, tinggi 2,5 m, dan panjang 5,9 m, pesawat ini sanggup terbang sampai 610
km dan selama hampir tiga jam. LT-200 berkanopi gelembung (bubble
canopy) dengan roda tidak bisa dilipat masuk (fixed landing gear)
dan memiliki tangki bahan bakar di ujung sayap (wing tip tank). Adhitya Yudiartha"Prototipe
ketiga dan keempat diserahkan kepada LPPU pada tahun 1977 untuk
dievaluasi dan telah diberi registrasi sipil masing-masing PK-ALD dan
PK-ALE. Dikabarkan PK-ALD mengalami kecelakaan pada tahun 1985 dan
PK-ALE disebut-sebut masih disimpan dengan baik untuk studi sistem
pesawat terbang" ini bukan pesawat di depan pendidikan ATC?
Utomo HarjoseputroBetul LT-200 buatan LIPNUR membuat 4 pesawat, 2 di Bandung dan 2 lagi dikirim ke Curug. Terakhir yang di Bandung 1 dihibahkan ke SMK12 BDG, 1 lagi dihibahkan ke museum penerbangan di Jogja.
Hizkia StevenNah.. Berarti yg di Bandung itu IN-201 dan di Yogya itu IN-202
Swadaya Pesawat Latih yang Gagal – LT-200 Skytrainer
Usaha swadaya pesawat latih kembali dilakukan di Indonesia lewat LT-200 Skytrainer, hasil kerjasama antara LIPNUR (Lembaga Industri Pesawat terbang Nurtanio) dengan PT. Chandra Dirgantara.
Pada awal 1970-an, pasca kegagalan produksi massal Nurtanio Nu-90 Belalang dan berakhirnya produksi PZL-104 Wilga (Gelatik), LIPNUR membutuhkan proyek baru untuk mengisi kegiatan unit produksi pesawat milik TNI-AU (Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Udara) ini.
Membuat pesawat lisensi seperti Gelatik tidak mungkin karena biayanya besar ditambah ada batasan produksi. Mendesain pesawat sendiri tentunya membutuhkan waktu lama dengan ada kemungkinan gagal.
PT. Chandra Dirgantara pimpinan Marsma (Marsekal Pertama) G.F. Mambu menawarkan produksi pesawat latih berteknologi swayasa yang sesuai dengan filosofi dan semangat Nurtanio, sang pendiri LIPNUR, teknologi sederhana, mudah dan murah diproduksi, juga tidak ada batasan produksi.
Sebagai catatan PT. Chandra Dirgantara ini memiliki keterkaitan era dengan KOPELAPIP (Komando Pelaksana Persiapan Industri Pesawat Tebang), mega proyek untuk membuat Fokker F27 secara lisensi tapi gagal akibat perubahan politik. Nasibnya yang tidak jelas ini lantas diambil alih TNI-AU.
Uji taxi LT-200 di depan hanggar LIPNUR, tampak pesawat masih bercat primer dan tidak dipasang kanopi.
Suharto sebagai salah satu staf teknik PT. Chandra Dirgantara yang pertama kali mengusulkan konsep pesawat swayasa yang dikembangkan menjadi pesawat latih mula. Alumni Technisch Hochschule Braunschweig, Jerman Barat ini menyodorkan desain PL-1, karya Ladislao Pazmany yang idenya didapat secara kebetulan dari membaca majalah Flying bekas.
Karena sudah terbukti kemampuannya, telah diproduksi dan digunakan oleh AU Taiwan sebanyak 60 unit, dan dalam tahap evaluasi oleh AU Korea Selatan, AU Taiwan, dan AU Jepang, usul ini disetujui. Pembagian kerjasama disetujui bahwa PT. Chandra Dirgantara sebagai penyedia dana, penjualan, dan dukungan produksi, sedangkan LIPNUR menjadi pelaksana produksinya.
Direncanakan dibuat empat unit protipe, dengan produksi awal sebanyak enam unit. Target penjualan domestik awal adalah TNI-AU termasuk FASI (Federasi Aerosport Indonesia) dan LPPU (Lembaga Pendidikan Perhubungan Udara). Untuk pembiayaannya PT. Chandra Dirgantara mengandalkan jatah bisnis kayu di Sumatra.
Diputuskan pula bahwa yang dibuat adalah PL-2, pengembangan dari PL-1, dan disebut LT (Lipnur Trainer)-200 Skytrainer. Angka 2 diambil dari angka 2 pada PL-2, sedangkan dua angka nol disediakan untuk angka pengembangan pesawat selanjutnya. Harga cetak biru gambar sebesar US$ 200 ditambah bayar royalti berupa main spar produksi Pazmany dengan harga US$ 500. Yang terakhir ini sebenarnya tidak wajib, Suharto bahkan menyebut main spar itu terlalu kokoh.
LT-200 adalah pesawat berkapasitas dua orang dengan tempat duduk berdampingan (side by side), bermesin tunggal Lycoming O-320-E2A 150 tk, dengan kecepatan jelajah rata-rata 220 km/jam, dan berkemampuan akrobatik. Dengan rentang sayap 8,53 m, tinggi 2,5 m, dan panjang 5,9 m, pesawat ini sanggup terbang sampai 610 km dan selama hampir tiga jam. LT-200 berkanopi gelembung (bubble canopy) dengan roda tidak bisa dilipat masuk (fixed landing gear) dan memiliki tangki bahan bakar di ujung sayap (wing tip tank).
Proses pembuatan pesawat pertama–prototipe pertama–berlangsung sekitar enam bulan. Pesawat berhasil diterbangkan pertama kali oleh Mayor Udara Suyudi pada hari Jumat tanggal 8 November 1974 dari Pangkalan Angkatan Udara Husein Sastranegara pada pukul 16.30. Besoknya pada jam 11.00, pesawat diterbangkan kembali, tapi kali ini oleh Mayor Udara Sriyono. Pesawat diterbangkan sampai di ketinggian 3.000 kaki dan bahkan membuat manuver berbentuk delapan (figure eight).
Pada tahun 1975, produksi
pesawat “Gelatik” di Lipnur (Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio) Bandung,
berakhir setelah mencapai 44 unit.
Ini adalah program alih
teknologi dalam produksi pesawat terbang dengan lisensi dari Polandia yang juga
merupakan kegiatan utama Lipnur.
Marsma Ir Soegito, Direktur
Lipnur waktu itu, berpendapat bahwa perlu ada program kelanjutan guna mengisi
kegiatan fasilitas produksi TNI AU ini. Namun, kondisi politis serta ekonomis
pada waktu itu tak memungkinkan peluang untuk proyek (lisensi) semacam itu yang
memerlukan biaya beberapa puluh juta dolar.
Berdasarkan informasi yang didapat dalam majalah Flying (tarikh
tidak tercatat) saya menyarankan pembuatan Pesawat Latih Swayasa PL-1 yang
dirancang oleh Ladislao Pazmany dari Amerika Serikat.
Sementara itu sebuah unit dari Angkatan Udara Taiwan telah
memproduksi pesawat tersebut — PL-1 maupun versi pengembangannya PL-2 —
sebanyak 60 unit dan menggunakannya sebagai basic
trainer. [*]
[*Menyusul sukses PL-1
dan PL-2 sebagai military
trainer di Taiwan, Indonesia, Vietnam, Thailand, Korea, Pakistan dan
Srilangka memulai program pilot
training dengan menggunakan pesawat-pesawat buatan mereka
sendiri yang didasarkan pada pesawat rancangan Pazmany tersebut. (Dikutip dan
dibahasaindonesiakan, sumber: Ladislao
Pazmany – Wikipedia) — Red SA]
Untuk pembuatan pesawat tersebut hanya perlu membeli satu set Kit/adapted prototype. Terdiri
dari gambar-gambar desain seharga $ 200 dan Royalty sebesar
$ 500 sudah termasuk wing main spar yang
dibuat khusus oleh Pazmany.
Sehingga tidak perlu ada
perjanjian seperti halnya dalam program lisensi yang mengikat pada jumlah
produksi tertentu.
Saran tersebut diterima dengan kondisi bahwa PT Chandra Dirgantara
— di mana waktu itu saya sebagai salah satu Staf Teknik dan Direktur Utama
Marsma GF Mambu — menyediakan dananya serta menangani sales & product support. Sedangkan
Lipnur sebagai pelaksana produksinya.
Direncanakan, setelah tiga unit prototipe dan satu unit development aircraft,
akan diproduksi batch pertama
sebanyak enam unit.
Operator-operator pertamanya
adalah TNI-AU dan LPPU (Lembaga Pendidikan Perhubungan Udara) Curug
Perlu diketahui bahwa yang dibuat adalah versi PL-2 dengan inovasi
berupa modifications &
improvements dimulai dari prototipe kedua hingga prototipe
keempat development aircraft —
seperti ditunjukkan pada tabulasi di bawah.
Pesawat latih produksi Lipnur ini disebut Lipnur Trainer atau LT-200.
Sangat disayangkan, proyek
ini dihentikan oleh Dr BJ Habibie saat menjabat Direktur Utama PT IPTN
(Industri Pesawat Terbang Nurtanio), sebuah BUMN (Badan Usaha Milik Negara)
baru yang menggantikan Lipnur.
Pada waktu Lipnur berganti menjadi PT IPTN sesuai rencana sudah
diselesaikan empat unit prototipe LT-200 — persiapan memasuki tahap produksi
serial, pembuatan batch pertama.
Inovasi: Modifications
& Improvements
Walaupun LT-200 didasarkan pada desain Pazmany PL-2 yang adalah
sebuah “amateur built aircraft”,
sesungguhnya dalam proses pembuatan prototipe di Lipnur itu telah dilakukan
inovasi dalam bentuk serangkaian modifications
& improvements.
Tujuannya adalah untuk mematangkan LT-200 menjadi production aircraft yang
memenuhi persyaratan-persyaratan yang berlaku di Indonesia.
Dengan kata lain, Lipnur dalam pembuatan LT-200 telah menerapkan
tahapan “Kit/adapted prototype menuju factory built aircraft”.
Pembuatan pesawat yang bukan didasarkan pada desain dari awal (from scratch).
Sebanyak 26 items dari modifications &
improvements dalam tabulasi berikut ini didasarkan atas
saran-saran dari beberapa test pilot dan
para calon operator.
Modelkitnya LT-200 maupun Pazmany PL-2 belum ditemukan pabrikan yang membuatnya, kemungkinan untuk membuatnya perlu memodivikasi dari kit pesawat sejenis dan yang paling mirip adalah pesawat latih Zlin-142 merk Aero Team, Hobby Boss, atau Easy Model skala 1/72 seperti photo-photo di atas . Saya telah dapat kit Zlin Z-42 skala 1:72 Hobby Boss yang nantinya akan dimodifikasi kokpitnya supaya serupa dengan Lipnur LT-200 tersebut dan marking sesuai photo di atas