Rabu, 29 September 2010

WEL RI-X

                                                 
Museum Dirgantara Mandala Yogyakarta

                                               
Museum ABRI Satriamandala, Jakarta 2013







 RI-X by aviadejavu.ru Site Crafts Craft20883.htm#en






  https://aviahistoria.com/2017/09/09/wel-1-pesawat-bermesin-pertama-buatan-indonesia/

by buku Bhakti TNI-AU 1946-2003  -  Wawa


Diterbangkan oleh Ramli Sumardi, replika WEL-1 beregistrasi RI-X ini berhasil terbang dengan baik walaupun harus disetel terlebih dahulu sudut pemasangan sayap.



WEL-I (Wiweko Experimenal Lightplane)

http://dirgantara.museumjogja.org/id/content/214-replika-wel-ri-x
Negara asal : Indonesia 
Jenis pesawat  :Pesawat Olah raga 
Buatan  :1948 
Type  :Pesawat terbang ringan bermotor tunggal. Dengan tempat duduk tunggal dan bersayap dua bagian (parabol)
Motor  :Harley Davidson 2 Silinder Model th 1925, 20/15 Daya Kuda
Panjang sayap  :9,00M 
Panjang badan  :5,5 M 
Tinggi  :2,4 M 
Berat kosong  :263 Kg 
Kecepatan jelajah  :85 Km/jam 
Masuk Museum :1980








Pesawat terbang bermotor WEL I RI X (Wiweko Experimental Light Plane) merupakan pesawat bermotor hasil produksi pertama Bangsa Indonesia yang dirancang dan dibuat dalam waktu lima bulan pada tahun 1948. Pembuatan dilakukan oleh Biro Rencana dan Konstruksi Markas Tertinggi AURI Seksi Percobaan Pembuatan Pesawat Terbang di Magetan dibawah Pimpinan Opsir Udara III (Kapten) Wiweko Supono. Diabadikan di Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala tahun 1980. Tekad Bangsa Indonesia dalam pengembangan ini merupakan titik tolak menuju Industri Pesawat Terbang. Untuk menyatakan kebenaran hal ini maka dengan dasar desain WEL-I RI X tersebut dibuat lagi replikanya pada tahun 1980 dan diterbangkan dari PU Iswahyudi menuju SMO, Lanud Adisutjipto kemudian di museumkan.








Sejarah:
  1. Pesawat pertama hasil desain dan konstruksi asli Bangsa Indonesia tahun 1948 oleh Opsir Udara III   Wiweko Soepono pimpinan Biro Rencana dan Konstruksi AURI di pangkalan udara Maospati, Madiun.
  2.  Pesawat dapat diselesaikan dalam waktu 5 bulan dan uji terbang oleh penerbang Suhanda pertengahan 1948. Pernah diikut sertakan dalam pameran penerbangan di Kota Yogyakarta tanggal 17-23 Agustus 1948. Kemudian pesawat WEL-I RI-X hancur kana ledakan granat di dekat stasiun Maguwo.
  3.  Pada tanggal 30 oktober 1981 Replika pesawat ini diabadikan di Museum ABRI Satriamandala atas sumbangan TNI-AU. dan satu lagi ada di Museum Dirgantara Mandala Yogyakarta.

WEL-1 sebenarnya tergolong pesawat swayasa (home build), sebagai tahapan berikutnya dari usaha uji coba membuat pesawat secara mandiri, sekaligus untuk memperkenalkan teknologi dirgantara ke masyarakat Indonesia yang baru saja meraih kemerdekaan.

Setelah Biro Rencana dan Konstruksi AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) sukses membangun enam unit pesawat layang (glider) NWG-1 (Baca :Pesawat Layang NWG-1, Titik Awal Lahirnya Teknologi Penerbangan), secara logis produksi selanjutnya adalah pesawat ringan bermesin. Lagi-lagi karena anggaran sangat minim, desainnya harus sederhana, harus bisa memanfaatkan suku cadang dan bahan yang tersedia.
Kali ini Opsir Udara III Wiweko Soepono yang harus memimpin sendiri rencana produksi tersebut, tidak dibantu oleh Opsir Udara II Nurtanio yang saat itu sedang berada di Manila, Filipina untuk tugas belajar ilmu aeronautika di FEATI (Far East Aero Technical Institute).
 
WEL (Wiweko Experimental Lightplane)-1 adalah pesawat kelas sangat ringan (ultralight), berawak satu orang, kokpit terbuka, dan bersayap tunggal tinggi (high wing monoplane) dengan bertumpu pada penguat sehingga disebut juga sayap payung (parasol). Tidak pernah terungkap mengapa Wiweko terinspirasi merancang pesawat dengan bentuk seperti ini, tapi dugaannya sewaktu remaja aktif menjadi anggota Klub Penerbangan Remaja Bandung dan membangun pesawat model, pernah melihat desain pesawat serupa di Andir.
Tipe pesawat mirip WEL-1 bersayap parasol ini sempat tren pada tahun 1920-an di Amerika Serikat. Contoh yang terkenal adalah Heath Parasol. Desain sayap payung memudahkan dalam penyimpanan. Cukup melepas sayap, pesawat dapat disimpan di gudang atau garasi rumah. Desain sayap dan badan (termasuk ekor) dirancang dapat dibangun secara mudah dan terpisah. Karena bersifat swayasa, motor penggerak dapat mengadopsi dari mesin otomotif, selama memenuhi persyaratan : ringan dan cukup tenaganya. Bisa jadi ini pula yang menjadi inspirasi Wiweko.
Idealnya WEL-1 dibuat di Andir karena memiliki fasilitas dan suku cadang yang lengkap, namun karena Bandung sudah dikuasai Belanda, pembuatan dialihkan ke Maospati, Madiun, walaupun tidak selengkap di Andir, tapi masih memiliki banyak bahan dan suku cadang yang dibutuhkan.
 
Pada tahun 1948 dengan lama pembuatan kurang lebih lima bulan, WEL-1 diselesaikan di salah satu hanggar di Maospati dengan bantuan teknisi dari Bengkel Teknik Udara dan masyarakat setempat. Motornya menggunakan mesin sepeda motor Harley Davidson 750 cc buatan tahun 1928 yang menghasilkan tenaga 20 tk. Bahan dan suku cadangnya mengandalkan material yang tersedia. Selain komponen otomotif pada mesin, roda WEL-1 menggunakan roda motor skuter.
Setelah selesai pesawat ini diuji coba oleh tes pilot, Suhanda, bekas pilot Jepang yang membelot membantu AURI sekaligus sebelumnya pernah menguji pesawat pembom Bristol Blenheim bermesin buatan Jepang, Sakai. Pesawat ini terbang dengan mulusnya dan oleh AURI, WEL-1 diberi registrasi RI-X.

Seperti tujuan semula, pesawat ini lantas dipamerkan kepada masyarakat untuk mempromosikan Biro Rencana dan Konstruksi AURI sekaligus membangun wawasan dirgantara (air minded) di masyarakat. WEL-1 sempat tampil di pameran kedirgantaraan di Yogyakarta yang dihadiri dan diresmikan oleh Presiden Soekarno. Sayangnya akibat kecerobohan, pesawat yang dikirim lewat kereta api itu malah hancur terkena ledakan granat di dalam gerbong saat perjalanan pulang ke Madiun.
 
Ingin membuat kembali WEL-1 tidak sempat dilakukan karena Wiweko sibuk mempersiapkan pembelian pesawat angkut Douglas C-47/DC-3 Dakota bernama Seulawah yang dibeli berkat sumbangan saudagar-saudagar asal Aceh.
Tapi keinginan membuat lagi WEL-1 terus tertanam di benak Wiweko. Saat menjadi Direktur Utama maskapai penerbangan GIA (Garuda Indonesian Airways), dia menugaskan dua tim di Jakarta dan Bandung, masing-masing membuat satu unit replika WEL-1. Pembangunan replika ini ada ceritanya sendiri, tapi yang pasti kedua unit replika itu menjadi koleksi dari Museum Satria Mandala, Jakarta dan Museum Dirgantara Mandala, Yogyakarta, sebagai bukti sejarah untuk generasi muda bahwa tipe inilah yang merupakan pesawat bermesin pertama buatan Indonesia. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)  
 https://aviahistoria.com/2017/09/09/wel-1-pesawat-bermesin-pertama-buatan-indonesia/ 

Pesawat bermotor pertama buatan Indonesia yang dibangun dan diterbangkan pada tahun 1948 di Madiun, kembali dibuat ulang 33 tahun kemudian. Ada kisah menarik saat berusaha menerbangkan kedua replika ini.

Suharto, perancang pesawat sekaligus penggagas proyek LT-200 dan XT-400, sebelum berpulang pada tahun 2019 sempat menceritakan kepada penulis tentang penerbangan replika WEL-1 yang berlangsung pada bulan Oktober-November 1981. Seperti kepanjangannya WEL (Wiweko Experiment Lightplane), merupakan pesawat bermotor ultralight yang pembangunan dan rancangannya digagas oleh Wiweko Soepono (Baca: WEL-1, Pesawat Bermesin Pertama Buatan Indonesia). Saat menduduki jabatan sebagai direktur utama GIA (Garuda Indonesian Airways), Wiweko bertekad untuk membangun ulang karyanya ini.

Ada dua replika dibuat, satu dibuat di Jakarta dan lainnya di Bandung. Sayangnya untuk proyek ini, Suharto karena kesibukannya tidak dilibatkan, baru diundang saat uji terbang WEL-1 untuk pertama kalinya di Bandara Kemayoran. Untuk replika versi Jakarta, Suharto tidak ingat siapa yang terlibat, dia hanya menyebutnya tim dari Garuda, orang-orang pilihan Wiweko sendiri. Sebelum diterbangkan, bersama-sama mahasiswa dari Universitas Pancasila, Suharto menginspeksi pesawat tersebut sekaligus mendokumentasikan lewat kamera…dan ternyata ada ketidak beresan. Wing spar sebelah kiri sayap entah kenapa tidak lurus/melengkung, ini pasti akan berpengaruh besar saat lepas landas.

Benar saja, WEL-1 versi Jakarta yang diterbangkan oleh tes pilot dari Departemen Perhubungan dan Dekan Universitas Pancasila, Ir. Muso C. Soenhadji memang berhasil lepas landas, namun pesawatnya kemudian jatuh ke sisi kiri! Untung Muso tidak apa-apa, namun pesawatnya setelah diperbaiki nantinya diputuskan tidak diterbangkan lagi dan  disumbangkan menjadi koleksi Museum Satria Mandala, Jakarta. Mesinnya yang merupakan modifikasi dari mesin motor Harley Davidson bertenaga 25-30 hp (horsepower) itu sempat dipinjam oleh Suharto untuk proyek film Serangan Fajar (Baca: Membangun Replika Cureng dan Guntei untuk Film Serangan Fajar). Muso sendiri masih sering dilibatkan menjadi pilot uji pesawat swayasa termasuk pesawat ultralight Rajawali tujuh tahun kemudian (Baca: Rajawali Universitas Pancasila).

Beda jauh dengan WEL-1 versi Bandung, Suharto sangat mengenal tim yang membuatnya. Dia menyebutnya tukang-tukang klasik. Dipimpin oleh teknisi berpengalaman Yum Sumarsono, mantan pilot helikopter kepresidenan Soekarno sekaligus perancang helikopter pertama di Indonesia dan bahkan masih dibantu oleh Ahmad, teknisi AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) yang di masa mudanya terlibat dalam proyek pesawat Walraven (Baca: Walraven, Perancang Pesawat yang Bernasib Tragis) dan juga ikut membangun WEL-1 versi orisinal, dijamin pesawat replika ini tidak akan gagal. Selain itu WEL-1 versi Bandung dipasang mesin mobil VW (Volkswagen) yang lebih bertenaga (35-40 hp) dan ditempatkan di dalam cowling yang berbentuk aerodinamis.

Setelah jadi, WEL-1 versi Bandung sebagai wujud nostalgia sengaja tidak diterbangkan di Bandara Husein Sastranegara melainkan di Madiun, tempat yang sama di mana WEL-1 versi orisinal diterbangkan. Tim inti dari WEL-1 termasuk di dalamnya Yum Sumarsono, Wiweko, Suharto, Marsma/Marsekal Muda (Purn.) Ramli Sumardi sebagai tes pilot, ditambah wartawan Kompas-Gramedia Dudi Sudibyo. Jumlah keseluruhan yang berangkat tidak sampai 10 orang dan bersama WEL-1 yang ditempatkan di ruang kargo pesawat jet Fokker F28 milik GIA, mereka terbang ke Pangkalan Angkatan Udara Iswahyudi yang dulunya bernama Maospati.

Di sana WEL-1 dirakit kembali dan siap terbang. Ramli mulai mengambil ancang-ancang di ujung landasan. Pesawatnya tampak mungil dibandingkan landasan pacu yang biasa digunakan pesawat tempur Northrop F-5E/F Tiger II dan Douglas A-4E Skyhawk yang berpangkalan di Iswahyudi. Namun setelah beberapa kali mencoba, pesawat tidak bisa mengangkasa, hanya meloncat-loncat saja. Jelas Wiweko yang menyaksikan kejadian ini sangat marah. Apalagi ini adalah pesawat terakhir.

Suharto lantas memeriksa kembali posisi sayap dan ekor stabiliser dan mengungkapkan kepada Wiweko keinginannya agar sudut pemasangan (angle of incidence) sayap agar dinaikan sedikit saja sebesar dua sampai lima derajat karena masih dalam posisi lurus. Ini adalah pelajaran aerodinamika dasar yang diperolehnya sejak jadi pandu udara dan aeromodelling. Gagasan Suharto itu malah ditolak mentah-mentah oleh Wiweko karena menurutnya, saat membangun WEL-1 dulu, hal tersebut tidak dilakukan.

Apa daya? Untungnya Wiweko kemudian mendapat telpon dari Jakarta, harus segera kembali untuk pergi ke Perancis dalam rangka pembelian dan menjemput pesawat badan lebar (wide body) Airbus A300B2 yang baru saja dibeli GIA. Kesempatan yang tidak disia-siakan oleh Suharto. Setelah Wiweko pergi, Suharto mengubah posisi sudut serang sayap, lalu pesawat kembali diuji terbang. Ternyata berhasil lepas landas! Posisi sudut serang diubah dan diuji beberapa kali sampai WEL-1 dapat terbang dengan baik dan enak.

Kabar keberhasilan penerbangan WEL-1 segera disampaikan saat Wiweko kembali ke Jakarta dan ternyata tanggapannya biasa-biasa saja. Sepertinya Wiweko tidak mau mengakui bahwa dirinya salah. Suharto juga tidak ambil pusing, sudah terbiasa menghadapi ciri khas tidak mau mengalah dan sisi nyentrik dari seniornya itu. Ramli sebagai tokoh pelestari pesawat-pesawat tua di Indonesia lewat FASI (Federasi Aerosport Indonesia) dan juga mantan direktur utama MNA (Merpati Nusantara Airlines) periode 1975-1979 terus menerbangkan WEL-1, tidak hanya di Iswahyudi, melainkan juga terbang ke Adisumarmo, Solo dan Adisucipto, Yogyakarta. Di kota terakhir inilah replika diabadikan dan menjadi bagian dari koleksi Museum Dirgantara Mandala. Sayangnya Ramli kemudian gugur saat menerbangan pesawat angkut ringan Dornier Do-28 di Jatiluhur pada tahun 1986. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)  

https://aviahistoria.com/2021/06/05/menerbangkan-replika-wel-1/

Modelkitnya mungkin tidak akan ketemu kalo dicari karena tidak ada yang buat, kecuali kalo kitmodeller mau membuatnya dengan modivikasi dari pesawat sejenis...tapi apa ya yang mirip? belum juga ketemu neh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar