Boeing Stearman Walkaround Video, DJI Osmo Pocket
by maam org
Bererapa pabrikan mokit :
Mokit rakitan modeller :
Pilotage Skill Test - NO modern Navigation tools -
Stearman - cross country Flying to AirShow
Stearman First Flight
Boeing Stearman P-17 Kaydet
Pesawat ini sebetulnya tidak digunakan langsung operasional AURI di Indonesia, tetapi pesawat ini adalah yang digunakan para calon penerbang yang menempuh pendidikan di Amerika Serikat yaitu saat diadakannya Sekolah Penerbangan AURI Angakatan III di Amerika Serikat tahun 1950-1952. Sekolah perwira penerbang angkatan ke III diselenggarakan di luar negeri dan diikuti olleh 60 orang siswa penerbang. Pendidddikan diadakan pada tahun 1950 sampai dengan 1952 di TALOA Academy of Aeoronautics yang bertempat di Minterfield, California, Amerika Serikat. Pengiriman siswa penerbang ke luar negeri tersebut adalah yang kedua kalinya di laakukan oleh AURI, yang pertama ialah ke India pada tahun 1947. Pada saat itu para siswa sudah berada pada tahap dasar ( “ Basic phase” ) pada tahap mana pesawat terbang yang di gunakan adalah pesawat terbang P-17 sumber : (http://barudakcbr.blogspot.com/2009/01/makalah-tentang-sejarah-museum-pusat_25.html)
cerita lain dari ; http://angkasa.grid.id/sejarah/taloa-nama-untuk-sebuah-legenda-penerbang-tni-au/
cerita lain dari ; http://angkasa.grid.id/sejarah/taloa-nama-untuk-sebuah-legenda-penerbang-tni-au/
Sebuah kenangan
indah bagi 60 pemuda Indonesia yang mengikuti pendidikan penerbangan di
Kalifornia pada tahun 1950. Kenangan itu dibukukan oleh anak-cucu mereka dalam
sebuah buku foto “Kepak Sayap The 60 Taloans Sebuah Kilas Balik” setebal 128
halaman. Jika dirunut ke belakang, kisah ini tidak akan pernah terjadi jika
Kementerian Pertahanan RI tidak mengeluarkan pengumuman bertanggal 25 Juli
1950. Isinya adalah, dibukanya pendaftaran bagi pemuda Indonesia untuk menjadi
penerbang. Responnya luar biasa. Ratusan pemuda mendatangi Markas Besar
Angkatan Udara di Jalan Merdeka Barat No. 8, dari berbagai wilayah di tanah
air. Hasil seleksi menyatakan bahwa hanya 60 orang yang diterima sebagai kadet
(calon penerbang). Pengumuman kelulusan disampaikan lewat surat dan RRI. Meski
umumnya dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, tapi ada juga yang bela-belain
datang dari Manado yaitu John Nayoan. Ada juga yang bekas Tentara Pelajar,
lulus SMA (Leo Wattimena), mahasiswa (Sugandi di IPB dan Hapid Prawira
Adiningrat di ITB), bekerja (Saleh Basarah di Lanud Andir dan Omar Dani di Bank
Indonesia), bahkan sudah menjadi anggota AURI (Makki Perdanakusuma dan Andoko).
Tentu setelah melalui proses administrasi berikutnya, mereka kemudian dilepas
KSAU Komodor Surjadi Suryadarma di Bandara Kemayoran untuk diterbangkan ke
Bakersfield, Kalifornia pada 16 November 1950. Di wilayah Bakersfield inilah
terdapat lapangan terbang Minterfield, tempat Transocean Airlines Oakland
(TALOA) Academy of Aeronautics berada. Mereka berangkat dengan pesawat khusus
DC-4 “Mount Fairwather” milik Transocean Airlines (TAL), semacam holding
bagi usaha kedirgantaraan yang dibangun Orvis Nelson pada 1946. Dipilihnya
TALOA sebagai tempat berlatih penerbangan adalah atas saran Komodor Wiweko
Soepono, yang merasa Amerika adalah tempat terbaik untuk belajar. Wiweko
sendiri yang mengunjungi Minterfield untuk melihat langsung sekolah ini. Saat
itu Wiweko bertemu dengan salah seorang pejabat TALOA, Leenhuizen, yang fasih
berbahasa Belanda. Pertemuan itulah yang dijadikan dasar dibuatnya kontrak pendidikan
untuk 60 pemuda Indonesia, generasi baru airman AURI. Semasa Perang
Dunia II, Minterfield dipakai sebagai tempat latihan pilot tempur untuk dikirim
ke wilayah Pasifik. Hampir seluruh areanya dibangun untuk menunjang pendidikan
penerbang. Permukaannya diperkeras dengan kontruksi beton. Kurang lebih 20
persen dipakai untuk parking ramps yang mampu menampung ratusan
pesawat BT-13. Sisanya merupakan area landasan. Pada saat kedatangan para kadet
ini, Minterfield yang memiliki tiga runway masih difungsikan sebagai
pangkalan udara, meski operasionalnya lebih banyak untuk mendukung penerbang crop
dusters (penyemprotan hama), pesawat pribadi dan hobbiest. Di
sekitar pangkalan kebetulan banyak dihuni warga imigran dari Meksiko dan
Filipina, yang langsung menjadi pertimbangan utama Wiweko untuk menentukan
pilihannya. Saat itu TALOA hanya membutuhkan waktu satu tahun untuk mencetak
penerbang. Sementara jika mengikuti pola pendidikan penerbang militer yang
lazim, calon penerbang dan calon navigator harus menjalani pendidikan hampir
tiga tahun di akademi militer. Hal itu dialami perwira ALRI yang dididik di
Akademi Militer Den Helder, Belanda. Cepatnya masa pendidikan di TALOA
dikarenakan kepada kadet hanya diberikan materi seputar penerbangan. Nah,
pendidikan militer nanti akan mereka terima sepulangnya ke tanah air. Skenario
ini sangat tepat untuk menghindari kelumpuhan total AURI, menyusul banyaknya
penerbang mengundurkan diri terkait konflik internal yang terjadi di tubuh
AURI.
Long
John
Sebelum
diterbangkan ke Kalifornia, ke-60 pemuda ini ditampung di sebuah asrama di
kawasan Cililitan (sepertinya di mess AURI). Mereka dikelompokkan ke dalam enam
grup berdasarkan tinggi badan, dengan setiap grup beranggotakan 10 orang dengan
satu orang sebagai group leader. Sebagai leader dari kesemua
pemuda ini, KSAU Surjadarma secara langsung menunjuk Makki Perdanakusuma. Mudah
ditebak, karena Makki sudah menjadi perwira AURI ketika terpilih sebagai kadet.
Kepada setiap kadet diberikan sejumlah perlengkapan. Terdiri dari pakaian
seragam dari bahan drill katun warna khaki, satu stel jas pesiar dari wol warna
abu-abu yang mereka sebut jas kebo, dan pakaian dalam long john putih
yang sering mereka sebut baju Anoman. Dengan semua bekal yang diberikan, mereka
pun berangkat menyongsong kehidupan baru di dunia baru yang nyaris tidak mereka
kenal sama sekali. Penerbangan yang melelahkan mereka lalui selama 58 jam.
Empat mesin radial Pratt & Whitney R-2000 hanya mampu memberikan kecepatan
maksimum sekitar 300 km/ jam, sehingga penerbangan DC-4 menjadi begitu lama. Dari
Kemayoran, pesawat mendarat di Labuan (Malaysia), Manila, Guam, Honolulu hingga
akhirnya tiba di bandara Oakland, San Fransisco di wilayah pantai barat. Peristiwa
lucu terjadi di Honolulu, yang membuat mereka terpaksa dikarantina. Bermula
dari ditemukannya bercak-bercak merah-hitam di tubuh salah seorang kadet oleh
petugas imigrasi bandara. Menduga itu sebagai sebuah penyakit, si kadet yang
malang berikut seluruh temannya dikarantina di kawasan bandara sampai ada
klarifikasi dari petugas kesehatan bahwa mereka “aman”. Rupanya saat itu orang
Amerika belum mengenal yang namanya pengobatan tradisional kerokan, yang
dianggap manjur mengobati orang yang masuk angin. Saat DC-4 mendarat di San
Fransisco, mereka disambut staf Departemen Luar Negeri RI, warga Indonesia
setempat dan William Rea (akrab dipanggil Bill) dan istrinya Lilian Rea. Pasangan
ini adalah calon orang tua asuh mereka, yang kelak meninggalkan kenangan
teramat mendalam hingga saat ini, sampai usia Lilian sekarang sudah mencapai 94
tahun. Keduanya langsung menemani para kadet dalam penerbangan leg terakhir
dari Oakland ke Bakersfield. Oh ya, tak lupa saat di San Fransisco, petinggi
TALOA sebagai tuan rumah yang baik menyuguhkan makan malam yang sangat lezat. Itulah
kali pertama sejak meninggalkan Jakarta, ke-60 kadet ini merasakan makanan
nikmat yang mengenyangkan. Hari ketiga perjalanan, menjelang malam, mereka
akhirnya tiba di Bakersfield.
Warga di sekitar
Minterfield sangat antusias menyambut pendatang dari seberang lautan ini. Wajah
mereka terlihat gembira dan melambai-lambaikan tangan ke arah kadet di dalam
bus.
Beberapa anak
muda melambaikan tangan sambil mengacungkan jari tengahnya (fuck),
yang dibalas para kadet juga dengan mengacungkan jari tengahnya. Baru kemudian
setelah agak lama di Minterfield, mereka mengerti maksud mengacungkan jari
tengah tersebut. Hari-hari setelah itu, mereka sudah langsung dihadapkan kepada
materi pendidikan penerbangan yang dimulai dengan ground school. Enam
grup yang dibentuk di Jakarta, kali ini dilebur menjadi hanya dua kelompok
(skadron) yang masing-masing beranggotakan 30 orang. Skadron 1 dihitung kacang
dari Grup 1, 2, dan 3. Selanjutnya menjadi Skadron 2. Di awal perkenalan dengan
direktur flying school James Hennessy dan para instruktur, agak
menggelikan ketika para instruktur kesulitan mengejakan nama para siswanya. Sejak itulah bermunculan nicknames dari
“the sixty boys” yang terus terbawa hingga mereka mengabdi sebagai perwira TNI
AU. Makki dipanggil Mackey, Leonardus Willem Johanes Wattimena dipanggil Leo,
dan Saleh Basarah dipanggil Lex. Meski tidak menggunakan gaya militer, tetap
saja pendidikan harus dijalani dalam jadwal yang ketat. Pukul 5 pagi di tengah
dinginnya suhu, mereka sudah harus bangun dan berbaris menuju mess hall.
Setelah itu makan pagi dilanjutkan pelajaran kelas. Namun semua dihadapi dengan
semangat tinggi sampai akhirnya mereka memasuki tahap primary
menggunakan pesawat single engine Aeronca.
Di bagian luar
hangar, setiap saat dikibarkan bendera Merah Putih bersanding dengan Stars and
Stripes. Di depannya terdapat apron dengan 20 pesawat Aeronca berbalut warna
perak berderet rapih.Pesawat ini digunakan secara bergiliran oleh Skadron 1 dan
2. Jika Skadron 1 belajar terbang, maka Skadron 2 ground school. Begitu
sebaliknya. Pelajaran teori dan praktik berlangsung bergiliran sehingga waktu
yang ada dimanfaatkan secara efektif.Pelajaran diberikan berdasarkan manual
yang diterbitkan CAA (Civil Aeronautics Administration), sekaligus sebagai
acuan untuk mengikuti ujian tertulis guna mendapatkan pilot license.Sedangkan
latihan terbang dijadwalkan mulai dari tingkat mula (primary), dasar (basic),
dan lanjut (advanced). Pendidikan tingkat advanced berarti
sampai ke level pendidikan instruktur penerbang.Di akhir tingkat mula setelah
memperoleh 40 jam terbang, setiap mereka mendapat kesempatan terbang solo
cross country sejauh 180 mil, sebuah jarak yang tidak dekat bagi kadet
tingkat mula dengan pesawat single engine di atas wilayah yang asing
bagi mereka. Wiweko memang cerdas.Ia sengaja memilih Minterfield karena wilayah
ini tidak pernah terpengaruh oleh faktor cuaca. Lokasinya terletak di kawasan
yang terkenal sebagai the country of sunshine, sebuah tempat yang
tidak pernah tertutup salju.Namun begitu, para kadet tetap harus menyesuaikan
diri dalam udara dingin, khususnya saat mulai terbang dengan pesawat Aeronca
yang memiliki model kokpit terbuka sebelah. Agak terbantu setelah mereka
mendapat jatah jaket kulit hitam dengan badge Swa Bhuana Paksa di dada kiri dan
tulisan Indonesian Flight Student di bawahnya, dan dengan mengumpulkan uang
saku bisa membeli kacamata Ray Ban.Tahap basic dilanjutkan dengan
pesawat latih Boeing Stearman. Setiap kadet harus mencapai 80 jam, dan
bagi yang lolos dilanjutkan menggunakan pesawat Harvard dengan waktu
90 jam terbang.Akhirnya mereka naik ke pesawat yang lebih besar, yaitu
mengumpulkan akumulasi 45 jam di pesawat Beechcraft dan C-47 Dakota.Hingga
akhirnya mereka lulus setahun kemudian, semuanya memperoleh sertifikat dan wing
TALOA. Sebagian besar lulus sebagai penerbang dan ada juga sebagai navigator, link
trainer instructor, dan aerial photographer.Pada Desember 1951,
mereka kembali ke tanah air secara bertahap menggunakan berbagai maskapai
penerbangan. Sebanyak 20 orang tetap di Minterfield untuk melanjutkan
pendidikan flight instructor hingga enam bulan ke depannya.
Kompak
selalu
Sungguh masa
setahun di Kalifornia meninggalkan kesan mendalam bagi ke-60 kadet AURI
generasi TALOA. Dari semula ada perasaan takut, khawatir, cemas, akhirnya sirna
setelah hari demi hari mereka menjalani aktivitas di Minterfield.Kebersamaan
dalam suka dan duka, terkenang selalu kejenakaan Roesdi yang piawai memainkan
piano dan biola, atau Omar Dani dan Kardjono yang piawai mencukur rambut. Salah
satu kenangan yang sangat berkesan dan mengharukan adalah saat mereka diundang
menghadiri Veteran’s Day. Pada waktu lagu kebangsaan Amerika akan dinyanyikan,
ternyata tidak seorangpun di antara yang hadir bisa mengiringinya dengan piano.Panitia
pun panik. Pembawa acara berusaha menanyakan kepada hadirin, apakah ada yang
bisa duduk di depan piano. Di situlah Roesdi hadir sebagai penyelamat. Dengan
tenang ia maju dan duduk di depan piano. Jari jemarinya bermanuver menekan tuts
demi tuts untuk membentuk sebuah nada The Star Spangled Banner. Luar biasa
Roesdi, sang kadet TALOA.Sekembalinya ke tanah air dan menjadi perwira AURI,
anak-anak TALOA berkiprah di berbagai kecabangan. Seiring konflik yang terjadi
di sejumlah wilayah di tanah air, mereka pun langsung mengisi pos terdepan, lead
the way, menyongsong setiap ancaman terhadap keutuhan NKRI. Menjelang
akhir pengabdian mereka di TNI AU, tiga di antara mereka menduduki posisi
puncak sebagai KSAU yaitu Omar Dani, Sri Mulyono Herlambang, dan Saleh Basarah.
Beberapa di antara mereka menjadi legenda seperti Leo Wattimena dan Ign.
Dewanto. Menurut Jeanny Sugandi yang memimpin tim penulis berjumlah tujuh orang
yang kesemuanya anak-anak alumni TALOA saat peluncuran buku “Kepak Sayap The 60
Taloans Sebuah Kilas Balik” di Warung Solo, Kemang, Jakarta Selatan (9 Agustus
2015), kiranya apa yang sudah dilakukan para orang tua mereka bisa dijadikan
teladan.“Ayah-ayah kami sudah melakukan yang terbaik, mereka adalah kebanggaan
bagi kami anak-anak dan cucu-cucunya,” ujar Jeanny saat memberikan sambutan. Meski
acara peluncuran terbilang sederhana karena tidak mengundang media selain Angkasa,
namun aura kebersamaan dan kekompakan yang diperlihatkan generasi kedua TALOA
yang menyiapkan acara ini, sungguh luar biasa.Mengutip ucapan salah seorang
purnawirawan TNI AU, bahwa yang namanya paguyuban purnawirawan adalah sebuah
organisasi yang sifatnya sementara. Karena satu demi satu anggotanya akan
habis, hingga pada akhirnya sudah tidak ada lagi yang bisa menjalankan
paguyuban.Namun paguyuban putra-putri TALOA menjadi antitesis, bahwa pandangan
itu tidak berlaku bagi mereka.Meski generasi ayah mereka tinggal dua orang
(Hapid Prawira Adiningrat dan Steve Kristedja), namun tidak terlihat
tanda-tanda berakhir pula keharmonisan mereka. Sebaliknya semakin kuat.Kehadiran
Hapid Prawira Adiningrat di tengah-tengah anak-cucu TALOA seperti menjadi
kebanggaan bagi semua (Steve Kristedja berhalangan karena tinggal di
Kalifornia).Marsekal (Pur) Chappy Hakim yang didaulat memberikan sambutan, tak
kurang memberikan hormat kepada seniornya, Hapid Prawira Adiningrat, penerbang
P-51 Mustang terakhir yang masih hidup di Indonesia.
Peninggalan pesawat ini satu-satunya masih dapat dilihat di Museum Dirgantara Mandala Yogyakarta dengan marking sesuai aslinya di Amerika sana. Trus gimana ceritanya sampai ada dimuseum ini ? Ada cerita di web http://www.maam.org/p61/p61_recovery.htm bahwa pesawat ini adalah barteran dari rongsok P-61 Black Widow di puncak gunung Cyclops Papua yang diinginkan Mid Atlantic Air Museum (MAAM)Pensylvania USA :
The Indonesian government had
finally agreed to accept a fully operational Boeing Stearman PT -13
primary trainer for display within their Air Force Museum in trade for
the needed export permits. But, first the Stearman had to be
disassembled, packed and shipped to Indonesia. Upon the arrival of the
Stearman in Indonesia the export paper work for the P-61 was finally in
hand and shipping arrangements were made with a US importer.
Modelkitnya saya belum punya, masih dicari,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar