Rabu, 29 September 2010

LIPNUR LT-200

                                               
@ Museum Dirgantara Mandala,Yogyakarta.


Nose LT-200 SMK Penerbangan Bandung
http://smkn12bdg.blogspot.co.id/.../scene-of-smkn-12...




 photo by Sudiro Sumbodo -; aviahistoria com


http://aviadejavu.ru/Images6/AN/AN80-4/13-1.jpg

  painting by noorjono






by Denmas Mantri




http://pazmany.com/wp/pdf/PL-2_profile.pdf



http://pazmany.com/wp/?cat=3&paged=2





Lipnur LT-200

Negara asal : Indonesia
Jenis : Pesawat Latih Dasar
Mesin : Lycoming 032E-2A 15 DK
Kecepatan jelajah : 219 km/jam
Akomodasi : 2 awak pesawat
Sejarah1974 : Kekuatan TNI AU yang merupakan produksi Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio (Lipnur) 
Sejarah





1974  : Kekuatan TNI AU yang merupakan produksi Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio (Lipnur).bekerja sama dengan pabrik pesawat Pazmany PL-2,
1987  : Diabadikan di Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala.
 http://dirgantara.museumjogja.org/id/content/202-lt-200


Hampir empat puluh tahun yang lalu pernah ada usaha untuk membuat pesawat latih sendiri agar dapat memenuhi kebutuhan pilot sipil dan militer di Indonesia.
Pada awal 1970-an, Lipnur (Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio) hampir menyelesaikan produksi 44 unit Gelatik, pesawat yang merupakan tahapan alih teknologi berdasarkan lisensi dari PZL-104 Wilga dari Polandia. 
Direktur Lipnur saat itu Marsma Ir Sugito berpikir program apa selanjutnya setelah Gelatik untuk mengisi kegiatan unit produksi pesawat milik TNI AU ini.
Sayangnya kondisi politis dan ekonomi pada waktu itu tidak memungkinkan membuat program seperti Gelatik, mengingat untuk memroduksi pesawat lisensi, membutuhkan biaya sampai puluhan juta dolar ditambah lagi ada batasan produksi. Mendesain pesawat sendiri tentunya membutuhkan waktu lama dengan ada kemungkinan gagal.
Karena itulah, PT Chandra Dirgantara pimpinan Marsma G.F. Mambu menawarkan alternatif lain kepada Lipnur untuk memroduksi pesawat Ladislao Pazmany PL-1 asal San Diego, California, AS. Karena mengunakan teknologi sederhana dan swayasa, PL-1 bisa diproduksi secara mudah, murah, dan tidak ada batasan produksi. Ternyata usulan ini diterima.
“Saya mendapatkan informasi pesawat itu dari majalah Flying. Beli gambar dengan harga 200 dolar AS dan bayar royalti berupa main spar produksi pabrik dengan harga 500 dolar. Ditambah lagi pesawat ini sudah dipakai oleh AU Taiwan, diproduksi 60 unit oleh unit produksi AU Taiwan. 
Jadi sudah proven,” kata Ir Suharto yang saat itu menjadi Staf Teknik PT Chandra Dirgantara saat diwawancarai penulis.
“PT Chandra Dirgantara ada keterkaitan dengan Kopelapip (Komando Pelaksana Proyek Industri Penerbangan) untuk memroduksi Fokker F27 yang didirikan oleh wartawan bernama Kurwet Kartaadiredja. 
Rencananya Kopelapip dipimpin oleh Nurtanio juga yang saat itu memimpin Lapip (Lembaga Persiapan Industri Penerbangan). Setelah tahun 1966, nasib Kopelapip tidak jelas dan diambil alih oleh TNI AU dan menjadi PT Chandra Dirgantara,” jelas alumni Technisch Hochschule Braunschweig, Jerman Barat ini.
Direncanakan dibuat empat unit protipe, dengan produksi awal sebanyak enam unit, yang akan dijual kepada TNI AU (termasuk FASI/Federasi Aerosport Seluruh Indonesia) dan LPPU (Lembaga Pendidikan Perhubungan Udara) Curug. 
Pesawat yang diputuskan untuk dibuat adalah PL-2, pengembangan dari PL-1, yang pada saat itu sedang dievaluasi sebagai pesawat latih mula AU Vietnam Selatan, AU Korea Selatan, dan AU Jepang.
PL-2 produksi Lipnur diberinama Lipnur Trainer (LT)-200 Skytrainer. Angka 2 diambil dari angka 2 pada PL-2, sedangkan dua angka nol disediakan untuk angka pengembangan pesawat selanjutnya. Pembagian kerjasama disetujui bahwa PT Chandra Dirgantara sebagai penyedia dana, penjualan, dan production support, sedangkan Lipnur menjadi pelaksana produksinya.
Dari mana PT Chandra Dirgantara mendapatkan uang? Ternyata perusahaan ini memiliki jatah bisnis kayu di Sumatra, bahkan uang yang dihasilkan dari bisnis ini direncanakan akan dibuat sampai 16 unit pesawat. Uang ini selain untuk membayar royalti, sebagian besar dipakai untuk membeli mesin dan instrumen yang belum bisa diproduksi sendiri.
Terbang perdana
LT200 adalah pesawat latih berkapasitas dua orang dengan tempat duduk berdampingan (side by side), bermesin Lycoming O-320-E2A 150 hp, dengan kecepatan jelajah rata-rata 220 km/jam, dan berkemampuan akrobatik. 
Rentang sayap 8,53 m, tinggi 2,5 m, dan panjang 5,9 m. Jarak jelajah mencapai 610 km serta lama terbang hampir tiga jam. Pesawat dengan bubble canopy dan fixed landing gear ini sekilas tampak mirip dengan AS-202 Bravo. Tapi perbedaannya adalah LT-200 memiliki tangki bahan bakar yang berada di ujung sayap (wing tip tank)
Sumber : Angkasa
https://www.lintas.me/news/indonesiaku/pertahananbangsa.blogspot.com/kisah-pesawat-latih-buatan-dalam-negeri

Cerita lain dari : Aviation history of indonesia
https://aviahistoria.com/2017/08/01/swadaya-pesawat-latih-yang-gagal-lt-200-skytrainer/
 /?fbclid=IwAR2ayajlWeWt6tUfvHSO90uloYvD_HmfR5NxVqFZ-_4GtY7goFFXAtiK0yI


Pada awal 1970-an, pasca kegagalan produksi massal Nurtanio Nu-90 Belalang dan berakhirnya produksi PZL-104 Wilga (Gelatik), LIPNUR membutuhkan proyek baru untuk mengisi kegiatan unit produksi pesawat milik TNI-AU (Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Udara) ini.
Membuat pesawat lisensi seperti Gelatik tidak mungkin karena biayanya besar ditambah ada batasan produksi. Mendesain pesawat sendiri tentunya membutuhkan waktu lama dengan ada kemungkinan gagal.
PT. Chandra Dirgantara pimpinan Marsma (Marsekal Pertama) G.F. Mambu menawarkan produksi pesawat latih berteknologi swayasa yang sesuai dengan filosofi dan semangat Nurtanio, sang pendiri LIPNUR, teknologi sederhana, mudah dan murah diproduksi, juga tidak ada batasan produksi.
Sebagai catatan PT. Chandra Dirgantara ini memiliki keterkaitan era dengan KOPELAPIP (Komando Pelaksana Persiapan Industri Pesawat Tebang), mega proyek untuk membuat Fokker F27 secara lisensi tapi gagal akibat perubahan politik. Nasibnya yang tidak jelas ini lantas diambil alih TNI-AU.
Suharto sebagai salah satu staf teknik PT. Chandra Dirgantara yang pertama kali mengusulkan konsep pesawat swayasa yang dikembangkan menjadi pesawat latih mula. Alumni Technisch Hochschule Braunschweig, Jerman Barat ini menyodorkan desain PL-1, karya Ladislao Pazmany yang idenya didapat secara kebetulan dari membaca majalah Flying bekas.
Karena sudah terbukti kemampuannya, telah diproduksi dan digunakan oleh AU Taiwan sebanyak 60 unit, dan dalam tahap evaluasi oleh AU Korea Selatan, AU Taiwan, dan AU Jepang, usul ini disetujui. Pembagian kerjasama disetujui bahwa PT. Chandra Dirgantara sebagai penyedia dana, penjualan, dan dukungan produksi, sedangkan LIPNUR menjadi pelaksana produksinya.
Direncanakan dibuat empat unit protipe, dengan produksi awal sebanyak enam unit. Target penjualan domestik awal adalah TNI-AU termasuk FASI (Federasi Aerosport Indonesia) dan LPPU (Lembaga Pendidikan Perhubungan Udara). Untuk pembiayaannya PT. Chandra Dirgantara mengandalkan jatah bisnis kayu di Sumatra.
Diputuskan pula bahwa yang dibuat adalah PL-2, pengembangan dari PL-1, dan disebut LT (Lipnur Trainer)-200 Skytrainer. Angka 2 diambil dari angka 2 pada PL-2, sedangkan dua angka nol disediakan untuk angka pengembangan pesawat selanjutnya. Harga cetak biru gambar sebesar US$ 200 ditambah bayar royalti berupa main spar produksi Pazmany dengan harga US$ 500. Yang terakhir ini sebenarnya tidak wajib, Suharto bahkan menyebut main spar itu terlalu kokoh. LT-200 adalah pesawat berkapasitas dua orang dengan tempat duduk berdampingan (side by side), bermesin tunggal Lycoming O-320-E2A 150 tk, dengan kecepatan jelajah rata-rata 220 km/jam, dan berkemampuan akrobatik. Dengan rentang sayap 8,53 m, tinggi 2,5 m, dan panjang 5,9 m, pesawat ini sanggup terbang sampai 610 km dan selama  hampir tiga jam. LT-200 berkanopi gelembung (bubble canopy) dengan roda tidak bisa dilipat masuk (fixed landing gear) dan memiliki tangki bahan bakar di ujung sayap (wing tip tank).
  
Adhitya Yudiartha "Prototipe ketiga dan keempat diserahkan kepada LPPU pada tahun 1977 untuk dievaluasi dan telah diberi registrasi sipil masing-masing PK-ALD dan PK-ALE. Dikabarkan PK-ALD mengalami kecelakaan pada tahun 1985 dan PK-ALE disebut-sebut masih disimpan dengan baik untuk studi sistem pesawat terbang" ini bukan pesawat di depan pendidikan ATC?

 Utomo Harjoseputro Betul LT-200 buatan LIPNUR membuat 4 pesawat, 2 di Bandung dan 2 lagi dikirim ke Curug. Terakhir yang di Bandung 1 dihibahkan ke SMK12 BDG, 1 lagi dihibahkan ke museum penerbangan di Jogja.

Hizkia Steven Nah.. Berarti yg di Bandung itu IN-201 dan di Yogya itu IN-202


Swadaya Pesawat Latih yang Gagal – LT-200 Skytrainer
Usaha swadaya pesawat latih kembali dilakukan di Indonesia lewat LT-200 Skytrainer, hasil kerjasama antara LIPNUR (Lembaga Industri Pesawat terbang Nurtanio) dengan PT. Chandra Dirgantara.
Pada awal 1970-an, pasca kegagalan produksi massal Nurtanio Nu-90 Belalang dan berakhirnya produksi PZL-104 Wilga (Gelatik), LIPNUR membutuhkan proyek baru untuk mengisi kegiatan unit produksi pesawat milik TNI-AU (Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Udara) ini.
Membuat pesawat lisensi seperti Gelatik tidak mungkin karena biayanya besar ditambah ada batasan produksi. Mendesain pesawat sendiri tentunya membutuhkan waktu lama dengan ada kemungkinan gagal.
PT. Chandra Dirgantara pimpinan Marsma (Marsekal Pertama) G.F. Mambu menawarkan produksi pesawat latih berteknologi swayasa yang sesuai dengan filosofi dan semangat Nurtanio, sang pendiri LIPNUR, teknologi sederhana, mudah dan murah diproduksi, juga tidak ada batasan produksi.
Sebagai catatan PT. Chandra Dirgantara ini memiliki keterkaitan era dengan KOPELAPIP (Komando Pelaksana Persiapan Industri Pesawat Tebang), mega proyek untuk membuat Fokker F27 secara lisensi tapi gagal akibat perubahan politik. Nasibnya yang tidak jelas ini lantas diambil alih TNI-AU.
Uji taxi LT-200 di depan hanggar LIPNUR, tampak pesawat masih bercat primer dan tidak dipasang kanopi.
Suharto sebagai salah satu staf teknik PT. Chandra Dirgantara yang pertama kali mengusulkan konsep pesawat swayasa yang dikembangkan menjadi pesawat latih mula. Alumni Technisch Hochschule Braunschweig, Jerman Barat ini menyodorkan desain PL-1, karya Ladislao Pazmany yang idenya didapat secara kebetulan dari membaca majalah Flying bekas.
Karena sudah terbukti kemampuannya, telah diproduksi dan digunakan oleh AU Taiwan sebanyak 60 unit, dan dalam tahap evaluasi oleh AU Korea Selatan, AU Taiwan, dan AU Jepang, usul ini disetujui. Pembagian kerjasama disetujui bahwa PT. Chandra Dirgantara sebagai penyedia dana, penjualan, dan dukungan produksi, sedangkan LIPNUR menjadi pelaksana produksinya.
Direncanakan dibuat empat unit protipe, dengan produksi awal sebanyak enam unit. Target penjualan domestik awal adalah TNI-AU termasuk FASI (Federasi Aerosport Indonesia) dan LPPU (Lembaga Pendidikan Perhubungan Udara). Untuk pembiayaannya PT. Chandra Dirgantara mengandalkan jatah bisnis kayu di Sumatra.
Diputuskan pula bahwa yang dibuat adalah PL-2, pengembangan dari PL-1, dan disebut LT (Lipnur Trainer)-200 Skytrainer. Angka 2 diambil dari angka 2 pada PL-2, sedangkan dua angka nol disediakan untuk angka pengembangan pesawat selanjutnya. Harga cetak biru gambar sebesar US$ 200 ditambah bayar royalti berupa main spar produksi Pazmany dengan harga US$ 500. Yang terakhir ini sebenarnya tidak wajib, Suharto bahkan menyebut main spar itu terlalu kokoh.
LT-200 adalah pesawat berkapasitas dua orang dengan tempat duduk berdampingan (side by side), bermesin tunggal Lycoming O-320-E2A 150 tk, dengan kecepatan jelajah rata-rata 220 km/jam, dan berkemampuan akrobatik. Dengan rentang sayap 8,53 m, tinggi 2,5 m, dan panjang 5,9 m, pesawat ini sanggup terbang sampai 610 km dan selama hampir tiga jam. LT-200 berkanopi gelembung (bubble canopy) dengan roda tidak bisa dilipat masuk (fixed landing gear) dan memiliki tangki bahan bakar di ujung sayap (wing tip tank).

Proses pembuatan pesawat pertama–prototipe pertama–berlangsung sekitar enam bulan. Pesawat berhasil diterbangkan pertama kali oleh Mayor Udara Suyudi pada hari Jumat tanggal 8 November 1974 dari Pangkalan Angkatan Udara Husein Sastranegara pada pukul 16.30. Besoknya pada jam 11.00, pesawat diterbangkan kembali, tapi kali ini oleh Mayor Udara Sriyono. Pesawat diterbangkan sampai di ketinggian 3.000 kaki dan bahkan membuat manuver berbentuk delapan (figure eight).
sumber ;
FB industry made in indonesia
https://www.facebook.com/www.IMIIndonesia/posts/1237734446350163?__tn__=K-R


Sejarah Singkat LT-200

Oleh Ir Suharto


Pada tahun 1975, produksi pesawat “Gelatik” di Lipnur (Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio) Bandung, berakhir setelah mencapai 44 unit.
Ini adalah program alih teknologi dalam produksi pesawat terbang dengan lisensi dari Polandia yang juga merupakan kegiatan utama Lipnur.
Marsma Ir Soegito, Direktur Lipnur waktu itu, berpendapat bahwa perlu ada program kelanjutan guna mengisi kegiatan fasilitas produksi TNI AU ini. Namun, kondisi politis serta ekonomis pada waktu itu tak memungkinkan peluang untuk proyek (lisensi) semacam itu yang memerlukan biaya beberapa puluh juta dolar.
Berdasarkan informasi yang didapat dalam majalah Flying (tarikh tidak tercatat) saya menyarankan pembuatan Pesawat Latih Swayasa PL-1 yang dirancang oleh Ladislao Pazmany dari Amerika Serikat.
Sementara itu sebuah unit dari Angkatan Udara Taiwan telah memproduksi pesawat tersebut — PL-1 maupun versi pengembangannya PL-2 — sebanyak 60 unit dan menggunakannya sebagai basic trainer. [*]
[*Menyusul sukses PL-1 dan PL-2 sebagai military trainer di Taiwan, Indonesia, Vietnam, Thailand, Korea, Pakistan dan Srilangka memulai program pilot training dengan menggunakan pesawat-pesawat buatan mereka sendiri yang didasarkan pada pesawat rancangan Pazmany tersebut. (Dikutip dan dibahasaindonesiakan, sumber: Ladislao Pazmany – Wikipedia) — Red SA]
Untuk pembuatan pesawat tersebut hanya perlu membeli satu set Kit/adapted prototype. Terdiri dari gambar-gambar desain seharga $ 200 dan Royalty sebesar $ 500 sudah termasuk wing main spar yang dibuat khusus oleh Pazmany.
Sehingga tidak perlu ada perjanjian seperti halnya dalam program lisensi yang mengikat pada jumlah produksi tertentu.
Saran tersebut diterima dengan kondisi bahwa PT Chandra Dirgantara — di mana waktu itu saya sebagai salah satu Staf Teknik dan Direktur Utama Marsma GF Mambu — menyediakan dananya serta menangani sales & product support. Sedangkan Lipnur sebagai pelaksana produksinya.
Direncanakan, setelah tiga unit prototipe dan satu unit development aircraft, akan diproduksi batch pertama sebanyak enam unit.
Operator-operator pertamanya adalah TNI-AU dan LPPU (Lembaga Pendidikan Perhubungan Udara) Curug
Perlu diketahui bahwa yang dibuat adalah versi PL-2 dengan inovasi berupa modifications & improvements dimulai dari prototipe kedua hingga prototipe keempat development aircraft — seperti ditunjukkan pada tabulasi di bawah.
Pesawat latih produksi Lipnur ini disebut Lipnur Trainer atau LT-200.
Sangat disayangkan, proyek ini dihentikan oleh Dr BJ Habibie saat menjabat Direktur Utama PT IPTN (Industri Pesawat Terbang Nurtanio), sebuah BUMN (Badan Usaha Milik Negara) baru yang menggantikan Lipnur.
Pada waktu Lipnur berganti menjadi PT IPTN sesuai rencana sudah diselesaikan empat unit prototipe LT-200 — persiapan memasuki tahap produksi serial, pembuatan batch pertama.

 

Inovasi: Modifications & Improvements 

Walaupun LT-200 didasarkan pada desain Pazmany PL-2 yang adalah sebuah “amateur built aircraft”, sesungguhnya dalam proses pembuatan prototipe di Lipnur itu telah dilakukan inovasi dalam bentuk serangkaian modifications & improvements.
Tujuannya adalah untuk mematangkan LT-200 menjadi production aircraft yang memenuhi persyaratan-persyaratan yang berlaku di Indonesia.
Dengan kata lain, Lipnur dalam pembuatan LT-200 telah menerapkan tahapan “Kit/adapted prototype menuju factory built aircraft”. Pembuatan pesawat yang bukan didasarkan pada desain dari awal (from scratch).  
Sebanyak 26 items dari modifications & improvements dalam tabulasi berikut ini didasarkan atas saran-saran dari beberapa test pilot dan para calon operator.


Modelkitnya LT-200 maupun Pazmany PL-2 belum ditemukan pabrikan yang membuatnya, kemungkinan untuk membuatnya perlu memodivikasi dari kit pesawat sejenis dan yang paling mirip adalah  pesawat latih Zlin-142 merk Aero Team, Hobby Boss, atau Easy Model skala 1/72 seperti photo-photo di atas .
Saya telah dapat kit Zlin Z-42 skala 1:72 Hobby Boss yang nantinya akan dimodifikasi kokpitnya supaya serupa dengan Lipnur LT-200 tersebut dan marking sesuai photo di atas



 beberapa pabrikan mokit yang mirip LT-200
 
 
 







Tidak ada komentar:

Posting Komentar